mediaterobos.com
Jakrta- Pemilihan Umum Presiden 2019 telah selesai. Jokowi - Amin sebagai pemenang kontestasi dalam hajatan rakyat lima tahunan itu, di tuntut harus merealisasikan visi misinya sehingga tak disebut sebagai jargon apalagi janji pemanis telinga untuk meraih simpati rakyat.
Salah satu sektor yang paling disorot saat kampanye Jokowi - Amin dalam perhelatan Pilpres 2019 adalah sektor kesehatan, dimana Jokowi - Amin berjanji untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
JKN sebagai platform penting di kesehatan Indonesia yang mulai beroperasi sejak 2014 lalu, nyatanya masih menyisakan banyak masalah. Mulai dari sektor pelayanan, hingga defisit yang hingga kini masih menyisakan sekitar 9,1 triliun rupiah selama 2018. Selain itu, JKN turut menyisakan kekecewaan dari tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, di mana klaim dari pelayanan yang sering terlambat dan tidak sesuai dengan ekspektasi. Ironisnya, beberapa faktor terkait fraud juga terjadi di level Faskes (Fasilitas Kesehatan).
BPJS Kesehatan yang diduga mengalami defisit hingga 28 triliun rupiah ini turut menyedot perhatian dari publik, khususnya dari Tokoh Milenial, Arief Rosyid Hasan. Menurutnya, permasalahan BPJS Kesehatan jangan semata-mata dibebankan kepada Jokowi.
“Menurut saya permasalahan BPJS Kesehatan ini karena produk ini selalu divonis sebagai alat pencitraan dan politik, padahal kenyataannya banyak membantu masyarakat kan,” tuturnya.
Lanjutnya, dia menuturkan bahwa defisit yang dialami BPJS Kesehatan itu bukti bahwa produk kebijakan tersebut disambut baik oleh masyarakat.
“Kalau BPJS Kesehatan mengalami defisit, tentu artinya penggunanya banyak kan, terlepas dari berbagai dugaan fraud dan tidak adanya pembayaran iuran,” tutur dokter gigi ini.
Dia kemudian membandingkan dengan sistem jaminan kesehatan yang dimiliki oleh Kerajaan Inggris, NHS (National Health Security).
“NHS saja mengalami defisit,padahal sistem ini adalah sistem jaminan kesehatan terlama di dunia. Apalagi BPJS Kesehatan yang baru berusia lima tahun,” lanjutnya.
Lulusan magister Kebijakan Kesehatan UI ini melanjutkan bahwa BPJS Kesehatan ini perlu dicarikan solusi bersama, utamanya melibatkan lintas sektor kementerian, dan utamanya para milenial.
“Saya percaya BPJS Kesehatan ini perlu pengawasan dari banyak pihak, utamanya milenial dalam menciptakan good governance dalam memberantas fraud. Semisal bagaimana kita menciptakan start-up atau menggunakan media sosial dalam pengawasan BPJS Kesehatan,” lanjut Arief.
Lanjutnya, bahwa BPJS Kesehatan ini sangat penting dalam membangun bonus demografi, karenanya inisiatif dari milenial akan sangat diperlukan dalam menyelesaikan problematika yang dialami oleh BPJS Kesehatan.
Terlebih menurutnya, bahwa hasil temuan BPS tahun 2018 menemukan bahwa dari 100 pemuda yang memiliki BPJS Kesehatan, 67 orang masih PB atau ditanggung oleh pemerintah. Menurutnya itu perlu ditelisik dan ditelusuri lebih jauh, karena menurutnya milenial perlu produktif dan tidak membebani negara.
“Pelayanan BPJS Kesehatan ini sangat dibutuhkan untuk menyambut bonus demografi ini. Di mana penyakit-penyakit terkait industri 4.0 semakin merebak. Sebut saja penyakit mental dan PTM (Penyakit Tidak Menular). Maka dari itu kita sesama milenial perlu menjaga platform ini,” tutupnya.(*)